Sunday, June 15, 2025

ORANG BATAK

Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia, tetapi tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Sumatra Utara. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum).[5] Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak, maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.[butuh rujukan]
Pada awal abad ke-11 Kerajaan Chola menyerang Sriwijaya, dan banyak pedagang Tamil yang kemudian bermukim di Barus.[6] Mereka berdagang kapur barus yang diusahakan oleh petani-petani dari pedalaman. Kapur barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-14, Barus diserang pasukan Minangkabau.
Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir barat Sumatra. Sebagian pedagang Tamil itu ada yang berpindah ke dataran tinggi Karo dan menjadi cikal bakal beberapa marga Karo.

Pada masa berikutnya, perdagangan kapur barus mulai dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.

Berdasarkan penuturan dari seorang kepala suku di Silindung saat kunjungan tiga misionaris dari Baptist Missionary Society, yaitu Nathaniel Ward, Evans Meers, dan Richard Burton pada tahun 1824, orang-orang Batak dipercaya merupakan kelompok pertama yang menetap di Pulau Sumatra. Tradisi mengenai negeri asal mereka tidak dapat diketahui lagi, selain bahwa negeri itu berada jauh di timur samudra. Awalnya, orang-orang Batak itu mendarat di sekitar wilayah timur dari Danau Toba. Mereka akhirnya bermukim di daerah tepian danau karena telah mendapatkan kenyamanan yang di ada di daerah itu. 

Setelah penduduk bertambah banyak, beberapa di antara mereka berpindah ke daerah Silindung, sebagian berpindah ke daerah Dairi di utara, dan selebihnya ke daerah Angkola di selatan. Orang-orang Batak di Angkola ini kemudian berangsur-angsur berpindah ke daerah Minangkabau. Mereka percaya bahwa sultan dari Kerajaan Pagaruyung merupakan anak ketiga dari Alexander Agung.

Sebelum kedatangan Belanda, kepala-kepala suku berada di bawah pemerintahan Kerajaan Pagaruyung, dan mereka mengirimkan upeti secara teratur kepada sultan melalui perantaranya di Barus. 

Setelah Belanda berhasil menaklukkan pasukan Padri, wilayah Tapanuli dimasukkan ke dalam bagian administrasi Sumatra's Westkust yang berpusat di Padang.

Identitas Batak populer dalam sejarah Indonesia modern setelah bergabungnya para pemuda dari Angkola, Mandailing, Karo, Pakpak, Simalungun, dan Toba dalam organisasi Jong Batak di tahun 1926.

Organisasi ini memiliki satu kesepahaman:

Bahasa Batak kita begitu kaya akan puisi, pepatah, dan pribahasa yang mengandung satu dunia kebijaksanaan tersendiri. Bahasanya sama dari utara ke selatan, tapi terbagi jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, aksara sendiri, seni bangunan yang tinggi mutunya yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita mempunyai nenek moyang yang perkasa. Sistem marga yang berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata negara yang bijak. Kita berhak mendirikan sebuah persatuan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan kita dan melindungi budaya kuno itu 

saudara semarga . Diistilahkan, manat mardongan tubu.[butuh rujukan]
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.[butuh rujukan]
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.[butuh rujukan]

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Dalam memoir Marco Polo yang sempat melakukan ekspedisi di pesisir timur Sumatra dari bulan April sampai September 1292, menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia".

Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, tetapi dia bisa menceritakan ritual tersebut

Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, asas, sekaligus sebagai struktur dalam sistem kemasyarakatan yakni Dalihan Na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Na Tolu menurut keenam puak Batak:[butuh rujukan]

Dalihan Na Tolu (Batak Toba):
- Somba Marhula-hula
- Manat Mardongan Tubu
- Elek Marboru

Dalian Na Tolu (Batak Angkola dan Mandailing):
- Hormat Marmora
- Manat Markahanggi
- Elek Maranak Boru

Tolu Sahundulan (Batak Simalungun):
- Martondong Ningon Hormat, 
- Sombah Marsanina Ningon Pakkei, 
- Manat Marboru Ningon Elek, 

Pakkei Rakut Sitelu (Batak Karo):
- Nembah Man Kalimbubu
- Mehamat Man Sembuyak
- Nami-nami Man Anak Beru

Daliken Sitelu (Batak Pakpak):
- Sembah Merkula-kula
- Manat Merdengan Tubuh
- Elek Marberru

Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).[butuh rujukan]

Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.[butuh rujukan]

Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.[butuh rujukan]
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.[butuh rujukan]

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

No comments:

Post a Comment

TRIP MEDAN - TASIK TOBA - BRASTAGI 5 DAYS 4 NIGHTS

PESONA TRIP MEDAN – TASIK TOBA – BERASTAGI 5 HARI DAN 4 MALAM DAY 01 : AIRPORT KUALA NAMU – TASIK TOBA ( L,D ) - Mee...