TRADISI LAMA BATAK
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakannya. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.[butuh rujukan]
Dalam memoir Marco Polo yang sempat melakukan ekspedisi di pesisir timur Sumatra dari bulan April sampai September 1292, menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia".
Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, tetapi dia bisa menceritakan ritual tersebut.[butuh rujukan]
Niccolò Da Conti (1395–1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414–1439), mencatat kehidupan masyarakat disana. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech, masyarakatnya hidup dengan berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".[31][32] Hal yang sama juga dicatat oleh William Marsden dalam bukunya History of Sumatra, yang menyatakan bahwa pedagang Minangkabau menjual senjata yang dibuat di Salimpaung kepada masyarakat di utara yang suka berperang.
Kunjungan yang sama oleh Nathan Ward, Meers, dan Burton pada tahun 1828 mencatat dalam jurnalnya bahwa tindakan kanibalisme terjadi bukan karena kekurangan makanan, selera yang aneh, dendam pribadi, takhayul ataupun kehormatan militer. Kebiasaan kanibalisme ini lebih sebagai bentuk penghormatan kepada keadilan di tengah-tengah masyarakat dan amarah kepada pelaku kriminal.
Pendapat ini diambil karena pada sistem hukum suku Batak pada masa itu memiliki hukuman kanibalisme pada pelaku kriminal. Beberapa contoh yang mereka ketahui ialah orang yang ketahuan melakukan perampokan akan dibunuh secara publik dengan pisau atau kancing sumbu yang nanti akan dimakan secara ramai-ramai.
Untuk pria yang berselingkuh, maka dia akan dimakan dengan memotong bagian tubuhnya sepotong-sepotong tanpa dibunuh terlebih dahulu. Para tawanan perang dan pria yang mati saat perang akan dimakan ramai-ramai, kecuali bila hanya dua desa saja yang berperang. Pada kunjungan ini, mereka mendengar bahwa 20 orang telah dimakan dalam satu hari dan tengkoraknya disimpan. Orang-orang tersebut merupakan penduduk yang tinggal di sekitar pinggir pantai yang sering menjarah para penumpang kapal yang mereka anggap sudah keterlaluan.
Thomas Stamford Raffles pada tahun 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya.
Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan maksud untuk menakut-nakuti pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan baik sebagai tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup-hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan jeruk nipis harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.
Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka.[42] Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan tampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama pendatang dalam masyarakat Batak.
Menurut Franz Wilhelm Junghuhn, dalam bukunya yang berjudul Die Battaländer auf Sumatra, kemungkinan ritual kanibalisme suku Batak hanyalah kabar angin yang ingin menakuti Belanda agar tidak berani memasuki tanah Batak.
TAMBO / TAROMBO
Silsilah atau tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak tersesat (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.[butuh rujukan]
Aksara Batak
Artikel utama: Surat Batak
Aksara dasar (ina ni surat) dalam tulisan Bahasa Batak merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 19 aksara dasar yang dimiliki semua varian aksara Batak, sementara beberapa aksara dasar yang hanya digunakan pada varian tertentu. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:
Bentuk-bentuk di atas merupakan bentuk yang digeneralisasi, tidak jarang suatu naskah menggunakan varian bentuk aksara atau tarikan garis yang sedikit berbeda antara satu sama lainnya, tergantung dari daerah asal dan media yang digunakan.
Aksara i (ᯤ) dan u (ᯥ) hanya digunakan untuk suku kata terbuka, misal pada kata ina ᯤᯉ dan ulu ᯥᯞᯮ. Untuk suku kata tertutup yang diawali dengan bunyi i atau u, digunakanlah aksara a (ᯀ atau ᯁ) bersama diaktirik untuk masing-masing vokal, misal pada kata indung ᯀᯉᯪ᯲ᯑᯮᯰ dan umpama ᯀᯔᯮ᯲ᯇᯔ.
Kalender Batak
Nama bulan[butuh rujukan]
No Penanggalan (Toba) Penanggalan (Karo) Lama Hari
No/bulan toba. / bulan karo / hari
1 /Sipaha sada / Paka sada (Kambing)/ 30
2 / Sipaha dua / Paka dua (Lembu) / 29
3 / Sipaha tolu / Paka telu (Gaya) / 30
4 / Sipaha opat / Paka empat (Padek) / 29
5 / Sipaha lima / Paka lima (Arimo) / 30
6 / Sipaha onom / Paka enem (Kuliki) /29
7 / Sipaha pitu / Paka pitu (Kayu)/ 30
8 / Sipaha ualu /Paka waluh (Tambok) /29/30
9 /Sipaha sia / Paka siwah (Gayo) /29/30
10 /Sipaha sampulu /Paka sepuluh (Baluat)/ 29
11 /Sipaha li /Paka sepuluh sada (Batu) /30
12 /Sipaha hurung / Paka sepuluh dua (Binurung) /29
13 / Lamadu / (30)
Total 353–355/(383–384)
Penanggalan[butuh rujukan]
Hari Penamaan hari (Toba) Penamaan hari (Karo) Penamaan hari (Simalungun)
Hari/toba. / karo. ,/ simalungun
1/ Aditia / Aditia /Aditia
2 / Suma /Suma /Suma
3 / Anggara/ Nggara/ Anggara
4 /Muda / Budaha / Mudaha
5 /Boraspati / Beraspati /Boraspati
6 /Singkora /Cukra Enem / Berngi Sihora
7 / Samisara /Belah Naik / Samisari
8 / Artia ni Aek / Aditia Naik/ Aditia Turun
9 /Suma ni Mangadop /Suma Siwah /Suma ni Siah
10/ Anggara Sampulu / Nggara Sepuluh/ Anggara ni Sapuluh
11 /Muda ni Mangadop / Budaha Ngadep/ Mudaha ni Mangadop
12 /Boraspati ni Mangadop /Beraspati Tangkep /Boraspati ni Takkop
13/ Singkora ni Purnama /Cukra Dudu (Lau)/ Sihora Duduk (Bah)
14 /Samisuru ni Purasa/ Belah Purnama Raya/ Samisara Purnama Raya
15 /Tula /Tula /Tula
16 /Suma ni Holom /Suma Cepik /Suma ni Holom
17 /Anggara ni Holom/ Nggara Enggo Tula/ Anggara ni Tula/
18 /Muda ni Holom /Budaha Gok /Mudaha (Gok)
19 /Boraspati ni Holom /Beraspati 19/ Boraspati 19
20 /Singkora Maraturun /Cukra Si 20/ Sihorasi 20
21 /Samisara Maraturun/ Belah Turun/ Samisara Maraturun
22 /Aditia ni Angga /Aditia Turun /Aditia Turun
23 /Suma ni Mate/ Sumana Mate /Suma ni Mate
24/ Anggara ni Begu/ Nggara Simbelin/ Anggarana (Bod)
25 /Muda ni Mate/ Budaha Medem/ Mudaha (Bod)
26 /Boraspati ni Gok/ Beraspati Medem/ Boraspati (Bod)
27 /Singkora Dudu /Cukrana Mate/ Sihora 27
28 /Samisara Bulan Mate /Mate Bulan /Matei ni Bulan/
29/ Hurung Dalin /Bulan Dalan/ ni Bulan
30 /Ringkar /Sami Sara/ Rikkar
Salam khas Batak
Tiap etnis Batak memiliki salam khasnya masing masing. Beberapa salam yang biasa dituturkan oleh tiap etnis adalah:[butuh rujukan]
Angkola dan Mandailing: “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Karo: “Mejuah-juah Kita Krina!”
Pakpak: “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
Simalungun: “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
Toba: “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!” atau "Horas Tondi Matogu, Pir Ma Tondi Madingin!"
No comments:
Post a Comment